Mati Bujang Tengah Malam


Mati Bujang Tengah Malam


Keputusasaan Pelaku Bom Bunuh Diri

Oleh Yan Widjaya

Saat kata The End atau Tamat terpampang di layar bioskop maka penulis pun berpikir, "Apa sih sebenarnya pesan yang disampaikan pembuat film ini kepada penontonnya?"

ada pesan positif ada pula yang negatif. Pembuat film yang baik selalu menyampaikan pesannya dengan jelas dan mudah dipahami oleh khalayak penontonnya. Sebaliknya, bagi pengamat film seperti penulis, akan berupaya menyimpulkan pesan tersebut cukup dalam satu kalimat singkat dan gamblang.

Beberapa contoh, "Jangan berpoligami ... kalau bisa," pesan Nia di Nata lewat film Berbagi Suami. "Kesenjangan antargenerasi tua dengan muda, bisa kok dijembatani," ini pesan yang dikemas kocak oleh Deddy Mizwar dalam Nagabonar Jadi 2.

Apa pesan Jose Poernomo lewat film horor Angkerbatu? "Sembarangan menebang hutan, akibatnya kiamat!". Menelanjangi sikap Presiden Bush dalam kasus runtuhnya World Trade Center, itu yang disampaikan Michael Moore via film dokumenternya, Fahrenheit 9/11.

Nah, bagaimana dengan film Mati Bujang Tengah Malam (MBTM) ini? Rasanya cukup satu kata, "keputusasaan". Ya, inti cerita film ini memang tentang keputusasaan seorang pemuda hingga nekat menjadi pelaku bom bunuh diri. Padahal dia adalah lulusan cum-laude dari fakultasnya, bahkan disemati pin emas oleh rektornya saat diwisuda, namun sebagai sarjana dia tak kunjung mendapat pekerjaan alias terus menganggur selama tiga tahun.

Pesan negatif? Memang iya, tapi faktanya kasus bunuh diri tidak jarang kita baca di koran, ada siswa sekolah dasar yang mati gantung diri lantaran menunggak pembayaran SPP misalnya.

Film Mati Bujang Tengah Malam memang bukan film komersial untuk tayangan di jaringan 21, melainkan sebuah film pendek berdurasi 45 menit. Disertakan dalam kategori kompetisi Cahaya Asia dalam Jogja Asian Film Festival (JAFF) 2007. Gala premiere-nya berlangsung pada 31 Juli 2007 malam di Gedung F, Benteng Vredeburg, Jogjakarta.

MBTM merupakan karya kesembilan bagi sutradara muda Fajar Nugroho (28). Sebelumnya sudah membuat sejumlah film dokumenter (antaranya, Jogja Needs a Hero) dan film pendek Sangat Laki-laki. Ceritanya digubah dari cerpen karangan sendiri yang dimuat dalam novel Buaya Jantan. Skenarionya ditulis Donny Prasetyo yang juga menjabat sebagai asisten sutradara (astrada).

Lagu Mau Tak Mau yang dibawakan Jagostu (band baru Eross) dipasang sebagai soundtrack-nya. Tidak kurang dari 17 kaset mini DV dihabiskan sebagai bahan baku pembuatannya oleh kamerawan Fauzi Ujel Bausad. Keseluruhan lokasi film berlangsung di Jogja, Bantul, dan sekitarnya, termasuk di Jembatan Kewek Kotabaru, kompleks Apartemen Sejahtera, Driving Range Golf Adi Sucipto, serta perumahan Casa Grande.

Hebatnya, Fajar bisa membujuk Eross Candra, vokalis grup Sheila on 7, dan Artika Saridevi, sang Putri Indonesia 2004. Nama keduanya diharapkan bisa menjual tapi sekaligus juga memperlama masa syuting karena segalanya mesti dicocok-cocokkan dengan jadwal kehadiran mereka yang sudah super sibuk dengan beragam kegiatan.

Seperti diketahui, Artika sudah membuat debut aktingnya lewat karya Garin Nugroho, Opera Jawa. Sedangkan Eross memang baru pertama kali menjajal bidang seni peran, terlihat masih agak kaku, antaranya terlihat saat adegan "mencuri cium" Artika. Tampaknya untuk menggambarkan kemalangan bertubi-tubi yang menimpa si pemeran utama, mesti belajar dengan menyimak mimik frustrasi tokoh yang diperani Michael Douglas dalam Falling Down yang kebetulan bernasib nyaris serupa.

Eross berperan sebagai Armand yang sudah tiga tahun luntang-lantung hingga pacarnya yang cantik, Amelia, memutuskan untuk meninggalkannya demi mencari pengusaha mapan. Sementara sang ayah, petani di desa yang sudah habis-habisan menjual sepetak lahannya untuk biaya kuliah dulu.

Ayah memintanya ganti membantu mencarikan biaya sekolah untuk adiknya. Beban itu ditambah sang ibu yang sakit-sakitan pula. Keluarga mereka memang sudah habis-habisan hingga tak malu-malu lagi ingin mendaftarkan diri di bawah taraf kemiskinan agar mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.

Realita menunjukkan ratusan ribu sarjana yang terpaksa menjadi pengangguran, sama seperti nasib Armand. Masuk-keluar kantor dengan surat lamaran dan selalu menerima penolakan.

Di tengah keputusasaan pemuda introvert bertampang kusut dan frustrasi ini bertemu seorang Om misterius bersedan mewah yang menawarinya sejumlah uang. Kiriman uang Armand bisa membuat keluarganya di desa kegirangan. Namun, imbalannya sungguh teramat kejam, ia mesti rela menjadi pelaku bom bunuh diri!

Sayangnya, sama sekali tak tergambar pergulatan batin Armand sebelum melaksanakan kenekatan tersebut, kebetulan tak jelas pula apa sebenarnya keyakinan tokoh utama kita ini? Lantas apa hubungan antara si Om misterius dengan seorang koruptor kaliber ikan paus?

Setidaknya bisa sedikit dibocorkan di sini, sama sekali tiada kaitannya dengan operasi jihad atau kelompok garis keras suatu agama. Rahasia misi si Om baru terungkap pada adegan antiklimaks, sementara rekaman pengakuan si pelaku bom bunuh diri ditayangkan di kaca televisi lokal!

Setelah di Jogja, film MBTM ini akan dibawa bergerilya dari kampus ke kampus oleh tim pembuatnya, Zerosith Pictures, antara lain ke Jakarta dan delapan kota besar lainnya, selain disertakan ke berbagai festival film pendek bertaraf internasional.


Penulis adalah pengamat film

0 Response to "Mati Bujang Tengah Malam"

Posting Komentar